Thursday, December 9, 2021

Penipu Popok & Susu di Instagram

Saya ga mau panjang lebar, penipu tsb mengatasnamakan ULI ELISA dengan nomor rekening Bank BRI
No.Rek: 0171-0101-4789-530.

Nomor yg dipakai +62 831-1187-5055 dan +62 822-2511-9601.

Memakai akun instagram @duniasusu_store 

Hati hati akun tersebut adalah PENIPU












Di ig dan FB pun banyak yg jadi korban. :") silakan cek hashtag #duniasusu_storepenipu di ig




















Saya tidak tahu apakah sekarang user name nya masih sama atau sudah ganti. Tapi ini sangat meresahkan karena memakan banyak korban. Saya pun sudah lapor ke BRI agar bisa membekukan rekening tsb, tapi dari BRI pun harus menggunakan surat keterangan dari polisi. 

Sunday, October 4, 2020

Kartu Ucapan

Kamis, 5 Oktober 1995.


Waktu itu wilayah Indonesia lagi dingin-dinginnya karena musim penghujan. Tapi ajaibnya sebuah tangisan bayi bisa menghangatkan seluruh jiwa yang menantinya. Pertama, saya harus bersyukur karena bayi tersebut terlahir sehat dan dirawat dengan penuh kasih seperti Malika kacang kedelai pilihan  oleh ibu dan bapaknya. Hingga saat ini dan entah kapan, kita doakan saja panjang umurnya karena sekarang hari ulang tahunnya. 


Sehingga bayi itu kini tumbuh menjadi orang yang menyebalkan  (semoga) bisa diandalkan oleh keluarganya. 


Tidak ada yang istimewa dari diri bayi --yang kini sudah dewasa itu-- sampai di pembukaan tahun kabisat ini saya dan dia memutuskan untuk saling menerima diri. Tapi kebanyakan saya yang riweh "minta" ditemenin dianya ga bisa. Tentu saja dia yang lebih banyak "menerima" saya. 


Sugeng ambal warsa, manusia kesayangan. 


Semoga tetap jadi versi baik dari dirimu yang selalu sabar, tenang, easy going, dan ramah. Tetap sehat sampai tua dan jangan sering masuk angin. Sebenernya orang yang sering bawel nyuruh kamu makan ini cuma pengen calon suaminya sehat. 


Semoga... Apa ya. Bener-bener bingung sih sebenernya ngga ada yang lebih penting dari kesehatan. Ya kan kaga lucu nanti pas mau nikah tiba-tiba masuk angin kerokan dulu. Huhu. Jangan ya. 


Semoga dengan bertambahnya usia bertambah juga rezeki-rezeki yang tentunya bukan soal materi semata tapi beragam jenisnya itu, apapun, yang membahagiakan. Jangan jadi tua yang menyebalkan. 


Semoga kuliah (kita) aman dan beres tahun depan! Bentar lagiii~ 


Juga semoga bisa tetap belajar agar jadi contoh yang baik buat anak didik dan nanti anak benerannya. 


Maaf, karena banyak hal. Dan, karena memulai kartu ucapan --yang ga panjang-panjang amat ini-- dengan kebohongan. Saya hanya menebak-nebak saja dulu kamu gimana lahirnya. Ya kalau salah saya minta maaf kan saya belum lahir. 


Akhir kata, semoga doa baik dan niat baiknya dijawab oleh Yang Maha Esa.


Mengetahui, Your beautiful wife-to-be

Menyetujui, Your partner in life

Penulis, Your one and only Aprilia Larasati

Friday, June 19, 2020

Kritik Sastra: Paham Penilaian Karya Sastra Relativisme, Absolutisme, dan Perspektivisme

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Menurut Wellek (1971), hakikatnya karya sastra adalah karya  imajinatif  yang bermediakan  bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan.  Berbicara tentang sastra tidak dapat dilepaskan dari bidang-bidang studi sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (2016), studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling berkaitan. Salah satu bidang sastra itu adalah ilmu tentang kritik sastra.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Thrall dan Hibbard (1960) menyebutkan bahwa kritik merupakan keterangan,  kebenaran analisis atau judgmen suatu karya sastra, sedangkan Hardjana (1981) mengemukakan  bahwa  kritik sastra merupakan basil  usaha  pembaca   dalam  mencari dan menentukan  nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran  sistematik  yang  dinyatakan  dalam  bentuk tertulis. Sementara itu Abrams (1981) menyatakan   bahwa  kritik  sastra  merupakan suatu  studi yang berkenaan   dengan  pembatasan,  pengkelasan,   penganalisisan,    dan penilaian  karya  sastra.  Secara  lebih  sederhana   lagi Jassin  (1962) menyatakan  bahwa  kritik   sastra  adalah  pertimbangan   baik  buruknya  suatu  karya sastra.
Begitu juga pendapat Wellek, Jassin, dan Hudson yang disebutkan oleh Pradopo (2002), bahwa kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, juga menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut. Jadi kritik sastra mencoba mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas dengan melihat kualitas berupa kelebihan dan kekurangan dari sebuah kacamata fokus tertentu.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian. Penilaian ini  menunjukkan  nilai  seni  karya  sastra  yang sedang. Penilaian  ialah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Dengan  mengetahui  penilaian karya sastra, orang dapat memilah-milahkan mana karya sastra yang bemilai dan mana yang tidak,  mana karya yang bermutu  tinggi dan mana yang rendah atau sedang-sedang saja.
Penghargaan  terhadap  karya  sastra pun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk menentukan indah tidaknya  suatu karya  diperlukan  ukuran atau kriteria  tertentu.  Adanya kriteria itu akan memudahkan kita melakukan penilaian. Dari sebuah ilmu kritik sastra muncul perbedaan-perbedaan dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana menilai sebuah sastra. Hingga munculah aliran-aliran yang membedakan dari segi manakah sastra itu dinilai dan dilihat kekuranga dan kelebihan sebuah karya sastra. Menurut Wellek & Warren (2016) dalam kritik sastra terdapat tiga aliran penilaian, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.

1. Penilaian Karya Sastra Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti “nisbi” atau “relatif”. Berdasarkan KBBI (2016), kata relativisme bermakna “pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas”. Relatvisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra, penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu.
Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian realitivisme memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011), paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode literer. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham absolutisme.
Contoh penilaian relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan dimana pun (tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.

2. Penilaian Karya Sastra Absolutisme
Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu.
Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judisial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Menurut Pradopo (1988), cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-cita, antara lain kaum humanis baru. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dan sebagainya.
Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni). Paham ini kemudian dikembangkan oleh golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan dengan usaha "mengganyang" puisi-puisi Chairil Anwar dan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, Lekra bersemboyan "politik adalah panglima", artinya segala bentuk kegiatan kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.

3. Penilaian Karya Sastra Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan postmodernisme.
Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, sosial, religius, politik serta ideologi kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, paham penilaian inilah yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus. Di Indonesia, contohnya adalah puisi-puisi Chairil Anwar pada pertama kali disiarkan banyak dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang sebagai puisi yang tinggi nilainya.

Pendekatan Intertekstual, Intratekstual, serta Struktural dalam Kajian Sastra Bandingan

Sastra bandingan adalah studi perbandingan dua karya sastra atau lebih atau perbandingan karya sastra dengan bidang lain, misalnya filsafat, sejarah, ilmu-ilmu sosial, agama, dan bentukbentuk seni Iainnya. Mazhab Prancis menyebutkan bahwa ahli sastra bandingan berusaha meneliti karya sastra clan membandingkannya dengan karya lain dengan mempertimbangkan aspek linguistik, pertukaran tema, gagasan, feeling clan nasionalisme. Mazhab Prancis lebih menekankan pada perbandingan sastra dengan sastra nasional yang didasarkan pada aspek intrinsik.
Mazhab Amerika agak berbeda dengan mazhab Prancis. Mazhab Amerika memiliki cakupan yang lebih luas. Menurut Remark (1971) sastra bandingan merupakan studi karya sastra antarnegara, bangsa di satu pihak dan studi bandingan antarbidang di pihak lain. Mazhab itu mengkritik tolok ukur sastra nasional, seperti yang dikemukakan mazhab Prancis, terlalu sempit. Oleh karena itu, mazhab Amerika cenderung rnelihatnya sebagai tolok ukur yang bersifat kultural. Perbedaan budaya dan bahasa sudah cukup bagi mazhab itu untuk melaksanakan suatu perbandingan.
Selanjutnya, Clements (1978) melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakupi aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/tren, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lainnya, serta (5) sejarah kritik dan teori sastra. objek pendekatan sastra bandingan terdiri atas telaah (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang-bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran perkembangan teori dan kritik. Ada beragam pendekatan dalam kajian sastra bandingan. Pada makalah ini, pendekatan yang akan dibahas adalah pendekatan intertekstual dan intratekstual serta pendekatan struktural.

1. Pendekatan intertekstual dan intratekstual dalam kajian sastra bandingan
Riffatere (dalam Teeuw 1983), mengungkapkan bahwa secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi.
Dalam bukunya, Ratna (2004) menjelaskan bahwa kajian atau teori intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik diantara teks-teks yang dikaji. Kajian interteks disini berusaha untuk menemukan aspekaspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Ratna (2004) mengungkapkan bahwa tidak ada karya asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Pradopo (2002) menyebutkan bahwa dasar dari kajian intertekstual adalah prinsip persamaan teks yang satu dengan teks yang lain. Artinya, suatu karya tidak akan diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dari dunia lain. Teori interteks dalam kaitannya dengan teks formal dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukannya dalam peta pemahaman sehingga menghasilkan karya yang baru.
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut.
Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Penelusuran makna dilakukan di luar karya individual, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan terks yang lainya. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya)". Menurut Rifaterre (dalam Teeuw 1983), hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pelacakan hipogram ini membutuhkan memori pemahaman luas dari sebuah cipta sastra. Pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak akan menguntungkan bagi orang yang melakukan bandingan. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan film. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual adalah sebuah teori yang berusaha untuk menemukan hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, karya sastra yang baru merupakan sebuah transformasi dari karya sastra yang telah lahir sebelumnya. Seorang pengarang ketika menulis karyanya pasti sudah terpengaruh oleh karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks yang sedang ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain. Namun pengarang tidak semata-mata hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan atau merombaknya menjadi sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang berbeda. Pada intinya, kajian intertekstual disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Penelitian yang menggunakan teori intertekstual adalah penelitian dalam skripsi yang berjudul “Hubungan Intertekstual Novel Salah Asuhan Karya Abdul Muis dengan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Karya Hamka (2000)” oleh Kusmanganti. Penelitian tersebut membahas tentang struktur novel Salah Asuhan dan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan intertekstual antara novel Salah Asuhan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kedua novel tersebut mempunyai persamaan yang terletak pada tema yaitu diskriminasi manusia yang disebabkan oleh adat, karakterisasi tokoh yang dilukiskan secara dramatik. Persamaan lainya terletak pada alur, keduanya menggunakan alur maju, selain itu dalam kedua novel di atas sama-sama memakai sudut pandang orang ketiga dan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan banyak menggunakan bahasa ungkapan.
Contoh lain penelitian dengan pendekatan interteks adalah penelitian skripsi dengan judul“ Semangat Feminis dalam Novel Saman karya Ayu Utami dan Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu: Kajian Intertektual” oleh Annisa Rahayuni (2013). Novel Saman yang terbit terlebih dahulu yaitu pada tahun 1998, diduga sebagai bentuk pengaruh dari lahirnya novel Nayla yang diluncurkan pada tahun 2005. Oleh karena itu, peneliti mengkaji kedua novel tersebut secara lebih mendalam untuk mengetahui hubungan yang terdapat dalam kedua karya yang merupakan satu jenis.
Secara teoritik kita dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya bandingan intratekstual seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada kritik teks untuk mencari keaslian, babon naskah, atau sumber tema, misalnya bandingan Narasoma Maling, Darmagandul, dan Wulang Reh; serta bandingan intertektual, antara dua kurun waktu sastra yang berbeda, sinkronik, dan atau diakronik. Bandingan intertekstual dapat dilakukan karya sastra antardaerah, negara, genre, atau pengarang yang diperkirakan ada keterkaitan. Bandingan intertekstual dan intratekstual sebenarnya ditentukan oleh objek dan subjek penelitian.
Junus (1988) mengatakan, arti suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana. Penelitian ini disebut bersifat intratekstual. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya. Suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana atau disebut bersifat intratekstual.
Contohnya adalah penelitian “Transformasi Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara ke Dalam Film (Kajian Sastra Bandingan)” oleh Reslyana Malida (2014) menghasilkan hubungan intratekstual fakta cerita yang terdapat pada kedua objek penelitian. Penelitian tersebut menggunakan analisis intratekstual yaitu dengan cara menganalisis struktur yang terdapat dalam novel dan film dengan menggunakan aspek cerita seperti, unsur alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan konflik.
Interteks adalah studi yang berbicara tentang sumber pengaruh. Kehinde (2003) mengungkapkan bahwa setiap teks mengandung teks yang lain. Kunci pokok interteks adalah terjadinya relasi antar karya sastra. Istilah relasional yang konsisten dengan pendekatan yang berorientasi pada pembaca dan menghindari mengkhianati afiliasi sadar dengan orientasi penulis.  Interteks memiliki dua identitas terpisah: (a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang; (b) sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam teks terfokus. Keuntungan intertekstualitas beberapa dukungan teoritis jika kita menganggap prasangka pada dasarnya istilah relasional, menghubungkan ucapan-ucapan. Penamaan sebuah ucapan pengandaian adalah hanya suatu cara menunjuk salah satu pernyataan dengan cara yang menentukan fungsi relasional untuk yang lain.
2.  Pendekatan struktural dalam kajian sastra bandingan
Dalam sebuah penelitian, baik dalam karya sastra maupun tulisan ilmiah biasanya ditemukan masalah-masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian tersebut. Dalam karya sastra cerita rakyat, masalah-masalah yang timbul biasanya berdasarkan unsur-unsur yang ada didalamnya, yaitu unsur-unsur intrinsik (struktural) dan unsur-unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang menjadi pembangun karya sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang menurut Satoto (1993) merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra. Unsur intrinsik yang dimaksud tersebut menurut Nurgiyantoro (1991) adalah tema, plot atau alur, perwatakan atau penokahan, latar atau setting, sudut pandang pengarang, gaya, dan amanat.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Teeuw (1984) mengatakan pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural menurut Teeuw dalam Siswanto (2008) bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama sama menghasilkan makna menyeluruh. Dalam pandangan struktural yang sebenarnya, tidak mungkin ada pembedaan bentuk dan isi. Bentuk diberi makna dalam kaitannya dengan isi. Isi diberi pencerahan oleh gejala bentuk yang terpadu dengannya.
Analisis dengan menggunakan pendekatan struktural dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dari masingmasing unsur yang terdapat di dalam cerita yang dianalisis. Struktur karya sastra menurut Sumardjo (1997) terdiri atas unsur-unsur alur, penokohan, tema, latar, dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi).
Stanton dalam Nurgiyantoro (1995) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana. Atau singkatnya, tema adalah ide pokok atau utama dalam sebuah karya sastra. Tokoh menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), adalah orang (orang-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Namun pada karya sastra seperti dongeng atau fabel, tokoh tidak hanya diperankan oleh manusia. Aminuddin (2008) mengatakan bahwa tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dengan kata lain, setiap tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita memiliki karakternya masing masing.
Selanjutnya plot menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (1995), plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), setting atau latar disebut juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Sudut pandang (point of view) menurut Booth dalam Nurgiyantoro (1995), merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
Kemudian, Aminuddin (2008) menerangkan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media bahasa yang indah dan harmonis meliputi aspek-aspek : (1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya bahasa. Sebab itulah ada pendapat yang menjelaskan bahwa gaya adalah orangnya atau pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan pengetahuan, pengalaman dan gagasan pengarangnya.
Terdapat pula unsur amanat yang menurut Nurgiyantoro (1995), merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Pengertian amanat menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (1995) adalah dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra. Akan tetapi, walaupun dikatakan unsur yang berada di luar karya sastra, unsur ekstrinsik tetap mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra. Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama.
Unsur ekstrinsik dari sebuah karya sastra adalah sama, biasanya mencakup aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat dan tema. Selain hal-hal yang datang dari luar diri pengarang, ada hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang yang cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya sebuah karya sastra.
Langkah-langkah dalam melakukan kajian sastra bandingan dengan pendekatan struktural sebagai berikut:
  1. Membaca karya sastra yang akan dikaji
  2. Mencari data yang berhubungan dengan objek penelitian
  3. Menganalisis data berdasarkan pendekatan struktural dan mengungkapkan persamaan, perbedaan, atau hubungan unsur intrinsik seperti tema, penokohan, dan alur\
  4. Menginterpretasi hasil analisis
  5. Menyimpulkan

Sunday, June 14, 2020

How was your day?

Hi. 
Maaf ya, aku sering overthinking terhadap sesuatu yang harusnya memang tidak perlu. Terima kasih sudah selalu memaklumi tanpa menghakimi. Mari bersedih, tertawa, menangis, berjuang, dan bahagia sama-sama sampai tua. Mari tetap jaga jarak dekat dan saling menguat juga mengingat.
I don't know how to tell but I always enjoying every second of our life. 🤗💞

Wednesday, February 19, 2020

Sebuah Catatan untuk Manusia Aneh

Hai, selamat pagi, Tuan Muhammad Mutoi.
(Begitu bukan penulisan namanya?)
((Jika kamu membaca ini di siang hari, ulanglah sapaan dari saya tadi dan ganti dengan 'selamat siang', ya! Jika kamu membacanya sore/malam, lakukanlah hal yang sama. Tapi jika kamu membacanya sepanjang waktu, segera tutup jendela laman ini karena saya pasti menunggu balasan pesan di WhatsApp!))

Dari mana saya harus memulainya?
Ah, rasanya malu sekali jika harus bercerita dari garis start.
Saat itu, mungkin sapaan darimu—bahkan dari semua lelaki—saya anggap mengganggu. Ya, sadar kan?

Maafkan saya yang dulu, saya hanya tidak siap menerima kenyataan bahwa saya harus menemukan orang lain yang harus saya perlakuan sama seperti orang itu yang saya tak ingin sebut namanya. Saya hanya takut, jika saya menemukan orang yang hanya akan saya kenang lagi.
Hingga saatnya kamu berjalan, namun saya masih berlari ke arah lain. Begitu terus hingga saya mulai sadar. Kamu adalah potongan puzzle. Bagian dari sebuah sistem. Jika salah satunya tidak ada, ya tetap harus ada! Begitu kira-kira.
Hingga saat, entahlah kapan, di waktu yang tidak ditentukan, saya dan kamu berjalan di dan ke arah yang sama.
Saya hanya butuh waktu. Dan kamu hanya butuh bersabar. Hingga kita saling belajar, aku belajar tentang caramu bersabar, dan kamu belajar tentang waktu perlahan.
Lagi-lagi saya sadar. Yang saya butuh bukan waktu. Yang saya butuh untuk belajar hanya kamu. Terserah semesta akan memberikan pelajaran apa, saya selalu suka belajar.
Terima kasih, mungkin? Ah, saya tau kamu bosan mendengar ini.
Tapi saya sangat bersyukur karena belajar dari kamu, saya bisa lebih sering tertawa. Kadang tersenyum seperti orang ½ waras. Saya jadi jarang bosan. Tentunya kuota saya lebih boros karena rindu seperti dendam yang harus dibayar tuntas kalau kata seorang penyair.
Dalam hal ini saya bahagia. Saya jadi jarang menangis sendiri setelah melihat drama atau video artis Korea yang tidak kamu tau namanya. Saya merasa Tuhan terlalu baik karena melibatkan saya dalam situasi yang menyenangkan seperti ini. Sampai-sampai saya tidak tau bagaimana harus membalas kebaikan-Nya melalui kamu. Dengan ketupat sayur, mungkin? Atau dengan wedang jahe? Entahlah, saya lebih suka membayarnya dengan waktu yang saya punya.
Saya tidak akan memaksa agar kamu ikut berjanji dengan saya. Tapi saya akan berjanji kepada diri saya, saya akan menua bersama orang aneh itu hingga waktu yang tidak ditentukan, seperti bagaimana kita memulainya. Saya sangat suka matematika, tapi beberapa hal tidak harus diungkapkan dengan angka. Bukan begitu?

Saturday, June 22, 2019

Analisis Puisi Aan Mansyur Menggunakan Pendekatan Hermeneutik


ANALISIS PUISI-PUISI “IBU” PADA BUKU KUMPULAN PUISI MELIHAT API BEKERJA  KARYA M AAN MASNYUR MENGGUNAKAN PENDEKATAN HERMENEUTIK
Aprilia Larasati


Abstrak
Artikel ini menganalisis dua puisi dengan topik “ibu” yang berjudul “Mengingat Pesan Ibu” dan “Pulang ke Dapur Ibu” pada buku Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja karya M Aan Mansyur. Analisis dilakukan dengan fokus kajian hermeneutik dengan tujuan memeperoleh makna dari puisi-puisi tersebut. Metode yang digunakan adalah analisis isi. Hasil kajian terhadap puisi tersebut menunjukkan bahwa kedua puisi tersebut sama-sama menyatakan bahwa sosok ibu yang selalu dibutuhkan, baik sebagai penasihat maupun sebagai seorang yang memberi kebahagiaan, bahkan di saat anak itu sudah tidak lagi sebagai anak-anak.
Kata kunci: hermeneutik, kajian puisi, M Aan Mansyur

PENDAHULUAN
            Karya sastra merupakan cerminan dari berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Keberadaannya sangat penting, selain sebagai hiburan, sebagian orang menganggap karya sastra sebagai sebuah kebutuhan. Untuk memahami karya sastra, diperlukan pendekatan untuk mengkajinya. Ada empat pendekatan tradisional yang dikemukakan oleh M.H. Abrams dalam bukunya yang berjudul The Mirror and the Lamp, yaitu pendekatan objektif, mimetik, ekspresif, dan tagmemik. Dari keempat pendekatan tersebut, kemudian berkembang berbagai pendekatan karya sastra modern.
Terdapat berbagai bentuk karya sastra, yaitu drama, prosa, dan puisi. Puisi merupakan karya sastra yang sangat dekat dengan masyarakat. Karena puisi menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa mengenal kasta, budaya, dan kelas sosial. Puisi juga dapat dijumpai di berbagai media, baik dalam jaringan maupun luar jaringan.
Menurut E. Kosasih (2008: 31), “Puisi adalah bentuk karya sastra yang tersaji secara monolog, menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna”. Aminuddin (2002:110) berpendapat, dalam upaya memahami teks sastra, terutama puisi, kesulitan yang biasa muncul adalah dalam upaya memahami maknanya. Karena puisi bukan sekadar deretan kata yang tidak bermakna. Lebih dari itu, kata-kata merupakan jembatan bagi penyair untuk menyampaikan maksudnya yang dapat ditafsirkan dari kacamata pembaca. Penafsiran ini bisa berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengalaman berpikir pembaca yang terbentuk menjadi sebuah pemahaman terhadap karya sastra.
Waluyo (1978:28) mengatakan, “Karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda dengan bentuk prosa”. Dalam sebuah puisi, terdapat empat unsur wajib yang disebut dengan hakikat puisi. Keempat unsur itu ialah tema (gagasan pokok / ide pokok), amanat (pesan dari penyair kepada pembaca), nada (sikap penyair kepada pembaca) dan perasaan (ekspresi penyair yang terungkap dalam puisinya).
Puisi yang akan dikaji adalah dua puisi dengan topik “ibu” yang berjudul “Mengingat Pesan Ibu” dan “Pulang ke Dapur Ibu” pada buku Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja karya M Aan Mansyur. Topik “ibu” banyak digunakan dalam buku tersebut. Untuk mengetahui makna dari “ibu” dalam puisi-puisi tersebut, maka pendeketan yang cocok digunakan adalah pendekatan hermeneutik.
Menurut Endraswara (2013: 66), “Hermeneutik adalah penafsiran atau totalitas karya sastra”. Hermeneutik (penafsiran), juga dapat diartikan sebagai makna yang hendak disampaikan penyair secara tersembunyi yang menimbulkan tanda tanya bagi pembacanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah suatu pendekatan karya sastra yang dilakukan dengan cara menafsirkan makna-makna yang ada di dalam sebuh karya sastra, baik makna yang tersirat maupun yang tersurat.

METODE
Dalam artikel ini, dua puisi pada buku Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja karya M Aan Mansyur akan dianalisis maknanya dengan pendekatan hermeneutik. Dalam pendekatan ini, karya sastra dipandang sebagai sesuatu seni yang memiliki makna yang dapat terdapat dalam simbol-simbol. Dalam hal ini, simbol-simbol yang terdapat di dalam suatu puisi bisa berupa tanda-tanda dan/atau rangkaian kata. Richard e Palmer (1969: 3) berpendapat bahwa, “Hermeneutik dapat diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.
Agar dapat memahami sebuah puisi, ada beberapa langkah yang harus diambil. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Menganalisis puisi berdasarkan hakikat puisi dan unsur intrinsiknya menggunakan pendekatan struktural.
2.      Kemudian puisi dimaknai secara langsung.
3.      Setalah itu, perlu dilakukan pembacaan berulang-ulang dan pemaknaan yang lebih mendalam untuk dapat menjelaskan arti implisit dari sebuah puisi.
4.      Selanjutnya, pemaknaan simbol-simbol dengan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
5.      Penyimpulan makna.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kajian Puisi “Mengingat Pesan Ibu” Karya M Aan Mansyur dengan Pendekatan Objektif

Mengingat Pesan Ibu
Karya: M Aan Mansyur

1.      Setelah sampai di perhentian
2.      terakhir sajak ini, kau ingat pesan
3.      ibumu.

4.      Seluruh yang kaumiliki bukan
5.      yang kaumau. Seluruh yang
6.      kaumau bukan yang kaubutuh.
7.      Seluruh yang kaubutuh bukan
8.      yang mampu kaujangkau. Seluruh
9.      yang mampu kaujangkau luruh
10.  dan sia-sia belaka.

11.  “Berhenti. Jangan berangkat
12.  sebelum tiba,” katanya.

Tema adalah gagasan utama atau ide pokok yang melatarbelakangi sebuah puisi. Dalam puisi tersebut, penyair mengangkat tema tentang rasa syukur. Hal tersebut dapat ditemukan di larik ke-(4) hingga ke-(10).
Amanat puisi mengarah pada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Dalam puisi ini, penyair berpesan agar nasihat ibu harus selalu diingat. Hal tersebut dapat dilihat di bait pertama:
Setelah sampai di perhentian                              (1)
terakhir sajak ini, kau ingat pesan                      (2)
ibumu.                                                                  (3)
Selain itu, penyair juga ingin menyampaikan bahwa manusia patutnya bersyukur atas sesuatu yang dapat dimilikinya. Penegasan amanat dapat ditemukan di akhir larik ke-(8) hingga larik ke-(10):
yang mampu kaujangkau. Seluruh                      (8)
yang mampu kaujangkau luruh                           (9)
dan sia-sia belaka.                                              (10)
Di samping itu, dalam puisinya penyair juga berpesan agar manusia tidak pergi dari sesuatu yang dimulainya sebelum sampai di tujuannya. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ketiga:
“Berhenti. Jangan berangkat                             (11)
sebelum tiba,” katanya.                                      (12)
            Dalam puisi ada juga yang disebut dengan nada. Nada merupakan sikap penyair kepada pembaca. Nada yang terdapat dalam puisi ini adalah nada menasihati atau mengingatkan. Hal tersebut tampak pada bait pertama yang mengandung kata perintah.
            Unsur selanjutnya yang wajib ada dalam puisi adalah perasaan. Perasaan dapat dimaknai sebagai ekspresi penyair yang terungkap dalam puisinya. Dalam puisi tersebut, perasaan yang nampak adalah kebimbangan.
            Unsur lain yang dapat digunakan untuk memaknai sebuat puisi adalah gaya bahasa. Diksi atau pilihan kata merupakan salah satu bagian dari gaya bahasa. Pada bait kedua, penyair menggunakan pola kalimat yang sama untuk mengungkapkan perasaannya.
            Seluruh yang kaumiliki bukan            (4)
            yang kaumau. Seluruh yang               (5)
            kaumau bukan yang kaubutuh.           (6)
            Seluruh yang kaubutuh bukan            (7)
            yang mampu kaujangkau. Seluruh      (8)
Setiap kalimat dalam bait ini kurang lebih memiliki pola yang sama, yaitu diawali dengan kata seluruh dengan pola “Seluruh yang kau... bukan yang kau....”. Selanjutnya terdapat pula bahasa figuratif atau majas yang digunakan, nampak pada bait ke tiga. Pada bait tersebut, penulisan pesona kau yang dipendekkan selalu disatukan dengan kata berikutnya. Namun, pada bait pertama, penulisan kau dipisah:
terakhir sajak ini, kau ingat pesan     (2).
Kau dalam bait pertama ini mungkin saja diwujudkan untuk membuat sebuah penegasan bahwa si kau bisa lepas dari ingat. Tidak seperti di bait ke dua. Si kau diwujudkan selalu menyatu dengan kata berikutnya.
“Berhenti. Jangan berangkat                         (11)
sebelum tiba,” katanya.                      (12)
Berangkat dan tiba dapat dimaknai sebagai kepergian dan kedatangan, atau bisa juga dimaknai sebagai suatu permulaan dan tujuan. Hal ini juga dipertegas dengan kata perhentian yang digunakan pada larik pertama. Umumnya kata tersebut digunakan untuk menyatakan tempat berhenti bus, kereta api, dan sebagainya. Namun makna dari kata perhentian di sini bukanlah makna yang sebenarnya, dapat diartikan bahwa perhentian yang dimaksud adalah tempat berhentinya sebuah perjalanan.
Analisis Kajian Puisi “Mengingat Pesan Ibu” Karya M Aan Mansyur dengan Pendekatan Hermeneutik
            Dalam puisi tersebut, penyair selalu mengingatkan orang ketiga dengan pesan-pesan ibu. Bahkan di awal puisi, penyair sudah mengingatkan bahwa sampai di perhentian terakhir sajak tersebut pembaca harus mengingat pesan ibunya. Sajak yang dimaksud mungkin bukanlah makna yang sebenarnya. Kata sampai pada larik pertama menandakan bahwa ada banyak perhentian sebelum di perhentian terkahir. Artinya, pesan ibu harus terus diingat sebelum tujuan akhir seseorang dapat tercapai.
            Penyair dalam puisinya menyatakan bahwa seluruh yang kaumiliki bukan yang kaumau. Banyak hal yang dalam genggaman manusia menjadi miliknya bukan karena ia mau, bukan pula karena ia butuh. Bahkan dikatakan juga bahwa seluruh yang dibutuhkan bukan yang mampu dijangkau atau digapainya. Banyak sekali kebutuhan dalam hidup ini yang tidak dapat dijangkau. Penyair menggambarkan si kau sebagai pribadi tidak punya kendali atas apa yang ia miliki. Dengan segala keserakahannya, manusia digambarkan mendapatkan sesuatu karena egonya saja. Setelah dapat menggapai seluruh yang dapat dijangkaunya, pada akhirnya seluruh yang dimilikinya akan gugur dan sia-sia pada waktunya.
            Untuk dapat mendengarkan pesan ibu dalam bentuk nasihat yang diucapkannya, penyair mengajak si kau untuk berhenti sejenak. Manusia dengan sifatnya yang selalu buru-buru dan tidak pernah puas diminta untuk diam sejenak, mendengarkan nasihat dari seorang ibu. Si ibu mengatakan bahwa si kau hendaknya –bahkan tidak diperbolehkan untuk berangkat (pergi ke suatu tempat atau tujuan) sebelum si kau tiba di perhentian terakhirnya.
            Perhentian terakhir bisa dimaknai sebagai sebuah tujuan yang ingin dimiliki oleh si kau. Tujuan ini bisa berupa cita-cita, karir, atau sebuah wujud nyata dari mimpi-mimpi si kau. Dapat pula diartikan sebagai ujung usia manusia, di mana ia telah sampai pada perhentian terakhirnya, yaitu kematian. Dalam perjalanan seumur hidupnya untuk medapatkan apa yang si kau miliki, si kau diingatkan agar terus mengingat pesan ibunya.
            Pesan ibu melalui ucapannya hanya diwujudkan dalam satu kalimat. Ibu si kau dipresentasikan menjadi sesosok penasihat yang tidak banyak bicara. Pesan-pesan sebelumnya mungkin saja disampaikan melalui tindakan yang dapat ditiru oleh si kau. Meski yang si kau miliki bukanlah yang ia butuhkan, tapi cita-cita atau tujuan awal harus terus dikejar.

Analisis Kajian Puisi “Pulang ke Dapur Ibu” Karya M Aan Mansyur dengan Pendekatan Objektif

Pulang ke Dapur Ibu
Karya: M Aan Mansyur

1.      Aku hidup di antara orang-orang yang memilih
2.      melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang
3.      lain daripada menolong diri sendiri.

4.      Aku ingin pulang ke dapur ibuku, melihatnya
5.      sepanjang hari tidak bicara. Aku ingin menghirup
6.      seluruh kebahagiaannya –yang menebal jadi aroma
7.      yang selalu membuat anak kecil dalam diriku
8.      kelaparan.

9.      Aku ingin hidup dan diam bersama ibuku. Aku akan
10.  menyaksikan ia memetik sayur di kebun kecilnya di
11.  halaman belakang untuk makan malam yang lengang.
12.  Aku ingin membiarkannya tersenyum menatapku
13.  makan tanpa bernapas.

14.  Aku ingin melihat ibuku tetap muda dan mudah
15.  tersenyum. Aku ingin menyimak seluruh kata
16.  yang tidak ia ucapkan. Aku ingin hari-harinya sibuk
17.  menebak siapa yang membuatku tiba-tiba suka
18.  bernyanyi di kamar mandi.

Tema dalam puisi tersebut adalah kerinduan terhadap kasih sayang seorang ibu. Hal ini dapat dilihat pada bait-bait berikut:
Aku ingin pulang ke dapur ibuku, melihatnya                        (4)
Aku ingin hidup dan diam bersama ibuku. Aku akan            (9)
Aku ingin melihat ibuku tetap muda dan mudah                    (14)
tersenyum. Aku ingin menyimak seluruh kata                                    (15)
Dalam puisi ini, penyair menyelipkan pesan manusia seharusnya lebih keras dalam menolong dirinya sendiri daripada menyakiti orang lain. Hal ini tergambar dalam bait pertama:
Aku hidup di antara orang-orang yang memilih                    (1)
melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang             (2)
lain daripada menolong diri sendiri.                                      (3)
Penyair juga berpesan dalam cerita-ceritanya yang mendeskripsikan kerinduannya terhadap ibunya dengan kegiatan-kegiatannya sewaktu kecil. Secara implisit, penyair berusaha mengatakan bahwa kasih sayang kepada seorang ibu hendaknya tidak pernah berkurang meskipun tubuh kita sudah tidak lagi seperti anak kecil.
            Nada yang terdapat dalam puisi ini adalah nada merenung. Hal tersebut tampak pada larik-larik yang banyak diawali dengan kata “Aku ingin....”. Larik-larik itu mencitrakan seorang aku yang ingin sesuatu saat itu dengan berandai-andai. Selain nada, ada perasaan yang dominan dalam puisi tersebut, yaitu perasaan kerinduan. Perasaan rindu si aku yang dituliskan oleh penyair dapat ditemukan pada setiap baitnya. Terdapat pula diksi atau pilihan kata.
Diksi yang digunakan penyair dalam puisi tersebut adalah kata-kata yang sederhana dan dapat dimaknai dengan sebenarnya. Namun beberapa kata memiliki makna eksplisit seperti pada larik kelaparan (8) yang merujuk pada larik ke-6 dan ke-7. Kelaparan yang dimaksud bukanlah lapar sesungguhnya, melainkan kurang bahagia dan menderita.
Analisis Kajian Puisi “Pulang ke Dapur Ibu” Karya M Aan Mansyur dengan Pendekatan Hermeneutik
            Puisi tersebut merupakan sebuah narasi tentang kerinduan seorang aku sebagai anak yang telah tumbuh dewasa di lingkungan yang keras. Mungkin saja lingkungan sebelumnya terasa lebih hangat, sehingga si aku merasa lingkungan yang berbeda. Sosok aku yang selalu merindukan ibunya ingin seolah ingi meninggalkan tempat orang-orang yang berusaha untuk menyakiti orang dengan cara tidak mengulang pembahasan mengenai tempatnya itu. Orang-orang yang dimaksud di sini mungkin adalah gambaran manusia sekarang yang selalu sibuk dengan hal-hal yang membuat dirinya hebat namun melupakan sisi kemanusiaan yang lain. Misalnya saja seperti penggusuran-penggusuran di daerah untuk pembangunan fasilitas bandara yang harus melukai hati para penduduk yang lahannya terkena gusur. Seakan tak punya hati, orang-orang itu lupa bahwa membahagiakan orang lain secara tidak langsung dapat menjadi pahala baginya. Dan pahala inilah yang akan menolongnya di kemudian hari. Sosok aku merindukan ibunya yang bisa selalu menolongnya dalam keadaan apapun.
            Si aku rindu melihat ibunya sibuk di tempat kerjanya (dalam puisi tersebut disebut dapur), tempat ibunya mengolah berbagai hal sepanjang hari hingga membuat ibunya tidak bicara. Ibu yang selalu sibuk dengan usaha untuk membahagiakan anaknya itu selalu dirindukan oleh sang anak meski kesibukan itu membuat jarak sekalipun antara keduanya. Selain merindukan sosok ibu, si aku juga menginginkan kebahagian yang serupa seperti yang ia rasakan ketika masih kecil. Hidup di tempat yang telah penyair sebutkan pada bait pertama tadi, membuat si aku menjadi kurang bahagia dan menderita.
            Si aku menginginkan hidup dan tinggal bersama ibunya, menyaksikan kegiatan ibunya sepanjang hari dan ingin menyaksikan ibunya bahagia dan mudah tersenyum karena hal-hal kecil yang dilakukannya. Si aku juga tidak ingin ibunya menua. Ia ingin waktu tidak berganti, tetap di masa ia bisa merasakan kebahagiaan-kebahagiaan yang ia dapat dari seorang ibu muda yang masih sibuk untuk terus dirindukannya. Ia ingin memahami perasaan ibunya melalui setiap gerakan ibunya yang tidak dijelaskan dengan kata-kata. Ia juga ingin ibunya melihatnya jatuh cinta kepada orang lain dan mendapatkan perhatiannya.

Interpretasi terhadap Puisi “Mengingat Pesan Ibu” dan “Pulang ke Dapur Ibu” Karya M Aan Mansyur
            Kedua puisi tersebut merupak puisi yang diambil dari sebuah buku Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja. Puisi “Mengingat Pesan Ibu” bertema tentang rasa syukur melalui pesan-pesan yang sampaikan oleh ibu. Sedangkan pada puisi “Pulang ke Dapur Ibu”, tema yang digunakan adalah kerinduan terhadap kasih sayang ibu. Meski keduanya memiliki tema yang berbeda, tetapi topiknya sama yaitu tentang ibu. Dalam buku kumpulan puisi tersebut setidaknya terdapat empat puisi tentang ibu. Penyair menempatkan posisi ibu lebih tinggi daripada seorang ayah.
            Ibu yang disampaikan penyair dalam puisi-puisinya memiki peran yang berbeda. Pada puisi pertama, ibu digambarkan dalam perannya sebagai seorang penasihat yang perlu didengerkan dan dijadikan panutan oleh anaknya. Sedangkan pada puisi kedua, ibu dipandang sebagai seorang yang selalu dirindukan karena dapat memberi kebahagiaan-kebahagiaan kepada anaknya. Persamaanya adalah kedua puisi tersebut sama-sama menyatakan bahwa sosok ibu yang selalu dibutuhkan, baik sebagai penasihat maupun sebagai seorang yang memberi kebahagiaan, bahkan di saat anak itu sudah tidak lagi sebagai anak-anak.

KESIMPULAN
Pendekatan hermeneutik adalah suatu pendekatan karya sastra yang dilakukan dengan cara menafsirkan makna-makna yang ada di dalam sebuh karya sastra, baik makna yang tersirat maupun yang tersurat. Dalam sebuah puisi, terdapat empat unsur wajib yang disebut dengan hakikat puisi (tema, amanat, nada, dan perasaan). Dari puisi dengan topik “ibu” yang berjudul “Mengingat Pesan Ibu” dan “Pulang ke Dapur Ibu” pada buku Kumpulan Puisi Melihat Api Bekerja karya M Aan Mansyur, puisi tersebut menunjukkan bahwa kedua puisi tersebut sama-sama menyatakan bahwa sosok ibu yang selalu dibutuhkan, baik sebagai penasihat maupun sebagai seorang yang memberi kebahagiaan, bahkan di saat anak itu sudah tidak lagi sebagai anak-anak.
Dengan demikian, melalui kajian ini diharapkan dapat memberikan motivasi kepada mahasiswa lain untuk menggunakan pendekatan hermeneutik untuk mengkaji puisi-puisi lainnya. Serta diharapkan melalui kajian ini, banyak orang lebih tertarik dalam memaknai puisi-puisi karya sastrawan modern. Sehingga penelitian mengenai sastra tidak hanya tentang puisi-puisi lama dan baru saja, melainkan meluas pada puisi modern juga.


Penipu Popok & Susu di Instagram

Saya ga mau panjang lebar, penipu tsb mengatasnamakan ULI ELISA dengan nomor rekening Bank BRI No.Rek: 0171-0101-4789-530. Nomor yg dipakai ...