Sastra bandingan adalah studi perbandingan dua karya
sastra atau lebih atau perbandingan karya sastra dengan bidang lain, misalnya
filsafat, sejarah, ilmu-ilmu sosial, agama, dan bentukbentuk seni Iainnya. Mazhab
Prancis menyebutkan bahwa ahli sastra bandingan berusaha meneliti karya sastra
clan membandingkannya dengan karya lain dengan mempertimbangkan aspek
linguistik, pertukaran tema, gagasan, feeling clan nasionalisme. Mazhab Prancis
lebih menekankan pada perbandingan sastra dengan sastra nasional yang
didasarkan pada aspek intrinsik.
Mazhab
Amerika agak berbeda dengan mazhab Prancis. Mazhab Amerika memiliki cakupan
yang lebih luas. Menurut Remark (1971) sastra bandingan merupakan studi karya
sastra antarnegara, bangsa di satu pihak dan studi bandingan antarbidang di
pihak lain. Mazhab itu mengkritik tolok ukur sastra nasional, seperti yang
dikemukakan mazhab Prancis, terlalu sempit. Oleh karena itu, mazhab Amerika
cenderung rnelihatnya sebagai tolok ukur yang bersifat kultural. Perbedaan
budaya dan bahasa sudah cukup bagi mazhab itu untuk melaksanakan suatu
perbandingan.
Selanjutnya,
Clements (1978) melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang
memiliki pendekatan yang mencakupi aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/tren,
(4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lainnya, serta (5)
sejarah kritik dan teori sastra. objek pendekatan sastra bandingan terdiri atas
telaah (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra
dengan seni dan bidang-bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran
perkembangan teori dan kritik. Ada beragam pendekatan dalam kajian sastra
bandingan. Pada makalah ini, pendekatan yang akan dibahas adalah pendekatan
intertekstual dan intratekstual serta pendekatan struktural.
1. Pendekatan intertekstual dan intratekstual dalam kajian sastra bandingan
Riffatere (dalam Teeuw
1983), mengungkapkan bahwa secara luas interteks diartikan sebagai jaringan
hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri
secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman,
penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks
yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi.
Dalam bukunya, Ratna
(2004) menjelaskan bahwa kajian atau teori intertekstual dimaksudkan sebagai
kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk
hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik
diantara teks-teks yang dikaji. Kajian interteks disini berusaha untuk
menemukan aspekaspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya sastra yang muncul kemudian.
Ratna (2004)
mengungkapkan bahwa tidak ada karya asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Pradopo (2002) menyebutkan bahwa dasar dari kajian
intertekstual adalah prinsip persamaan teks yang satu dengan teks yang lain. Artinya,
suatu karya tidak akan diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dari
dunia lain. Teori interteks dalam kaitannya dengan teks formal dapat
mengidentifikasi lautan teks, memasukannya dalam peta pemahaman sehingga
menghasilkan karya yang baru.
Kajian intertekstual
dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian
interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian
interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap
karya tersebut.
Penelitian dilakukan
dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Penelusuran
makna dilakukan di luar karya individual, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya
pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu
dengan terks yang lainya. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak
terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang
seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Hipogram adalah unsur
cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang
terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model,
acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang
dipengaruhinya)". Menurut Rifaterre (dalam Teeuw 1983), hipogram sebagai
struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan,
kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pelacakan
hipogram ini membutuhkan memori pemahaman luas dari sebuah cipta sastra.
Pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak akan menguntungkan bagi orang yang
melakukan bandingan. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel
dengan puisi, novel dengan film. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata
sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi
maupun negasi.
Berdasarkan beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual adalah sebuah
teori yang berusaha untuk menemukan hubungan antara satu teks dengan teks-teks
lain. Dengan kata lain, karya sastra yang baru merupakan sebuah transformasi
dari karya sastra yang telah lahir sebelumnya. Seorang pengarang ketika menulis
karyanya pasti sudah terpengaruh oleh karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam teks yang sedang ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain.
Namun pengarang tidak semata-mata hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan
atau merombaknya menjadi sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang
berbeda. Pada intinya, kajian intertekstual disini berusaha untuk menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya
sastra yang muncul kemudian.
Penelitian yang
menggunakan teori intertekstual adalah penelitian dalam skripsi yang berjudul “Hubungan
Intertekstual Novel Salah Asuhan Karya Abdul Muis dengan Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk Karya Hamka (2000)” oleh Kusmanganti. Penelitian tersebut membahas
tentang struktur novel Salah Asuhan dan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan intertekstual antara
novel Salah Asuhan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kedua novel
tersebut mempunyai persamaan yang terletak pada tema yaitu diskriminasi manusia
yang disebabkan oleh adat, karakterisasi tokoh yang dilukiskan secara dramatik.
Persamaan lainya terletak pada alur, keduanya menggunakan alur maju, selain itu
dalam kedua novel di atas sama-sama memakai sudut pandang orang ketiga dan
menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan banyak menggunakan bahasa
ungkapan.
Contoh lain penelitian
dengan pendekatan interteks adalah penelitian skripsi dengan judul“ Semangat
Feminis dalam Novel Saman karya Ayu Utami dan Novel Nayla karya Djenar Maesa
Ayu: Kajian Intertektual” oleh Annisa Rahayuni (2013). Novel Saman yang terbit
terlebih dahulu yaitu pada tahun 1998, diduga sebagai bentuk pengaruh dari lahirnya
novel Nayla yang diluncurkan pada tahun 2005. Oleh karena itu, peneliti
mengkaji kedua novel tersebut secara lebih mendalam untuk mengetahui hubungan
yang terdapat dalam kedua karya yang merupakan satu jenis.
Secara teoritik kita
dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya bandingan intratekstual
seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada kritik teks untuk mencari
keaslian, babon naskah, atau sumber tema, misalnya bandingan Narasoma Maling,
Darmagandul, dan Wulang Reh; serta bandingan intertektual, antara dua kurun waktu
sastra yang berbeda, sinkronik, dan atau diakronik. Bandingan intertekstual
dapat dilakukan karya sastra antardaerah, negara, genre, atau pengarang yang
diperkirakan ada keterkaitan. Bandingan intertekstual dan intratekstual
sebenarnya ditentukan oleh objek dan subjek penelitian.
Junus (1988) mengatakan,
arti suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan
unsur-unsur lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana.
Penelitian ini disebut bersifat intratekstual. Sebagai varian, intratekstual
melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual,
merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana,
mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya. Suatu
unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur
lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana atau disebut
bersifat intratekstual.
Contohnya
adalah penelitian “Transformasi Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara ke
Dalam Film (Kajian Sastra Bandingan)” oleh Reslyana Malida (2014) menghasilkan
hubungan intratekstual fakta cerita yang terdapat pada kedua objek penelitian. Penelitian
tersebut menggunakan analisis intratekstual yaitu dengan cara menganalisis
struktur yang terdapat dalam novel dan film dengan menggunakan aspek cerita
seperti, unsur alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan konflik.
Interteks adalah studi
yang berbicara tentang sumber pengaruh. Kehinde (2003) mengungkapkan bahwa setiap
teks mengandung teks yang lain. Kunci pokok interteks adalah terjadinya relasi
antar karya sastra. Istilah relasional yang konsisten dengan pendekatan yang
berorientasi pada pembaca dan menghindari mengkhianati afiliasi sadar dengan orientasi
penulis. Interteks memiliki dua
identitas terpisah: (a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya
sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang; (b)
sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam
teks terfokus. Keuntungan intertekstualitas beberapa dukungan teoritis jika
kita menganggap prasangka pada dasarnya istilah relasional, menghubungkan
ucapan-ucapan. Penamaan sebuah ucapan pengandaian adalah hanya suatu cara
menunjuk salah satu pernyataan dengan cara yang menentukan fungsi relasional
untuk yang lain.
2. Pendekatan
struktural dalam kajian sastra bandingan
Dalam sebuah penelitian, baik dalam karya sastra
maupun tulisan ilmiah biasanya ditemukan masalah-masalah yang menjadi dasar
dilakukannya penelitian tersebut. Dalam karya sastra cerita rakyat,
masalah-masalah yang timbul biasanya berdasarkan unsur-unsur yang ada
didalamnya, yaitu unsur-unsur intrinsik (struktural) dan unsur-unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang menjadi pembangun karya sastra
itu sendiri. Pendekatan struktural yang menurut Satoto (1993) merupakan
pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang
membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra
sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah,
biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra. Unsur
intrinsik yang dimaksud tersebut menurut Nurgiyantoro (1991) adalah tema, plot
atau alur, perwatakan atau penokahan, latar atau setting, sudut pandang
pengarang, gaya, dan amanat.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik,
yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra
dari dalam. Teeuw (1984) mengatakan pendekatan struktural mencoba menguraikan
keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan
struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural
menurut Teeuw dalam Siswanto (2008) bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua
unsur dan aspek karya sastra yang bersama sama menghasilkan makna menyeluruh. Dalam
pandangan struktural yang sebenarnya, tidak mungkin ada pembedaan bentuk dan
isi. Bentuk diberi makna dalam kaitannya dengan isi. Isi diberi pencerahan oleh
gejala bentuk yang terpadu dengannya.
Analisis dengan menggunakan pendekatan struktural
dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan
fungsi dari masingmasing unsur yang terdapat di dalam cerita yang dianalisis. Struktur
karya sastra menurut Sumardjo (1997) terdiri atas unsur-unsur alur, penokohan,
tema, latar, dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam
membangun karya sastra (fiksi).
Stanton dalam Nurgiyantoro (1995) mengartikan tema
sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya
dengan cara sederhana. Atau singkatnya, tema adalah ide pokok atau utama dalam
sebuah karya sastra. Tokoh menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), adalah
orang (orang-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Namun pada karya sastra seperti dongeng atau fabel, tokoh tidak hanya
diperankan oleh manusia. Aminuddin (2008) mengatakan bahwa tokoh dalam karya rekaan
selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dengan
kata lain, setiap tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita memiliki karakternya
masing masing.
Selanjutnya plot menurut Kenny dalam Nurgiyantoro
(1995), plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang
tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), setting atau latar disebut juga sebagai
landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Sudut pandang (point of view) menurut Booth dalam
Nurgiyantoro (1995), merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk
menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan
dengan pembaca.
Kemudian, Aminuddin (2008) menerangkan bahwa gaya
adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media bahasa yang
indah dan harmonis meliputi aspek-aspek : (1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya
bahasa. Sebab itulah ada pendapat yang menjelaskan bahwa gaya adalah orangnya
atau pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan
pengetahuan, pengalaman dan gagasan pengarangnya.
Terdapat pula unsur amanat yang menurut Nurgiyantoro (1995),
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat
cerita. Pengertian amanat menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (1995) adalah dimaksudkan
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan
oleh pembaca.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di
luar karya sastra. Akan tetapi, walaupun dikatakan unsur yang berada di luar
karya sastra, unsur ekstrinsik tetap mempengaruhi terciptanya sebuah karya
sastra. Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan
pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, situasi politik,
persoalan sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama.
Unsur ekstrinsik dari sebuah karya sastra adalah sama,
biasanya mencakup aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang
yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat dan tema. Selain
hal-hal yang datang dari luar diri pengarang, ada hal yang sudah ada dan
melekat pada kehidupan pengarang yang cukup besar pengaruhnya terhadap
terciptanya sebuah karya sastra.
Langkah-langkah dalam melakukan kajian sastra
bandingan dengan pendekatan struktural sebagai berikut:
- Membaca karya sastra yang akan dikaji
- Mencari data yang berhubungan dengan objek penelitian
- Menganalisis data berdasarkan pendekatan struktural dan mengungkapkan persamaan, perbedaan, atau hubungan unsur intrinsik seperti tema, penokohan, dan alur\
- Menginterpretasi hasil analisis
- Menyimpulkan
No comments:
Post a Comment