Friday, June 19, 2020

Kritik Sastra: Paham Penilaian Karya Sastra Relativisme, Absolutisme, dan Perspektivisme

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Menurut Wellek (1971), hakikatnya karya sastra adalah karya  imajinatif  yang bermediakan  bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan.  Berbicara tentang sastra tidak dapat dilepaskan dari bidang-bidang studi sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (2016), studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling berkaitan. Salah satu bidang sastra itu adalah ilmu tentang kritik sastra.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Thrall dan Hibbard (1960) menyebutkan bahwa kritik merupakan keterangan,  kebenaran analisis atau judgmen suatu karya sastra, sedangkan Hardjana (1981) mengemukakan  bahwa  kritik sastra merupakan basil  usaha  pembaca   dalam  mencari dan menentukan  nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran  sistematik  yang  dinyatakan  dalam  bentuk tertulis. Sementara itu Abrams (1981) menyatakan   bahwa  kritik  sastra  merupakan suatu  studi yang berkenaan   dengan  pembatasan,  pengkelasan,   penganalisisan,    dan penilaian  karya  sastra.  Secara  lebih  sederhana   lagi Jassin  (1962) menyatakan  bahwa  kritik   sastra  adalah  pertimbangan   baik  buruknya  suatu  karya sastra.
Begitu juga pendapat Wellek, Jassin, dan Hudson yang disebutkan oleh Pradopo (2002), bahwa kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, juga menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut. Jadi kritik sastra mencoba mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas dengan melihat kualitas berupa kelebihan dan kekurangan dari sebuah kacamata fokus tertentu.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian. Penilaian ini  menunjukkan  nilai  seni  karya  sastra  yang sedang. Penilaian  ialah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Dengan  mengetahui  penilaian karya sastra, orang dapat memilah-milahkan mana karya sastra yang bemilai dan mana yang tidak,  mana karya yang bermutu  tinggi dan mana yang rendah atau sedang-sedang saja.
Penghargaan  terhadap  karya  sastra pun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk menentukan indah tidaknya  suatu karya  diperlukan  ukuran atau kriteria  tertentu.  Adanya kriteria itu akan memudahkan kita melakukan penilaian. Dari sebuah ilmu kritik sastra muncul perbedaan-perbedaan dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana menilai sebuah sastra. Hingga munculah aliran-aliran yang membedakan dari segi manakah sastra itu dinilai dan dilihat kekuranga dan kelebihan sebuah karya sastra. Menurut Wellek & Warren (2016) dalam kritik sastra terdapat tiga aliran penilaian, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.

1. Penilaian Karya Sastra Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti “nisbi” atau “relatif”. Berdasarkan KBBI (2016), kata relativisme bermakna “pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas”. Relatvisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra, penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu.
Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian realitivisme memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011), paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode literer. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham absolutisme.
Contoh penilaian relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan dimana pun (tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.

2. Penilaian Karya Sastra Absolutisme
Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu.
Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judisial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Menurut Pradopo (1988), cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-cita, antara lain kaum humanis baru. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dan sebagainya.
Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni). Paham ini kemudian dikembangkan oleh golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan dengan usaha "mengganyang" puisi-puisi Chairil Anwar dan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, Lekra bersemboyan "politik adalah panglima", artinya segala bentuk kegiatan kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.

3. Penilaian Karya Sastra Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan postmodernisme.
Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, sosial, religius, politik serta ideologi kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, paham penilaian inilah yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus. Di Indonesia, contohnya adalah puisi-puisi Chairil Anwar pada pertama kali disiarkan banyak dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang sebagai puisi yang tinggi nilainya.

1 comment:

Penipu Popok & Susu di Instagram

Saya ga mau panjang lebar, penipu tsb mengatasnamakan ULI ELISA dengan nomor rekening Bank BRI No.Rek: 0171-0101-4789-530. Nomor yg dipakai ...