Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra)
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi"
atau "pedoman", dari kata dasar śās-
yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Menurut Wellek (1971),
hakikatnya karya sastra adalah karya
imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan. Berbicara tentang sastra tidak dapat
dilepaskan dari bidang-bidang studi sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin
Warren (2016), studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang
erat dan saling berkaitan. Salah satu bidang sastra itu adalah ilmu tentang
kritik sastra.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek
studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan
penilaian terhadap teks sastra. Thrall dan Hibbard (1960) menyebutkan bahwa
kritik merupakan keterangan, kebenaran
analisis atau judgmen suatu karya
sastra, sedangkan Hardjana (1981) mengemukakan
bahwa kritik sastra merupakan
basil usaha pembaca
dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan
penafsiran sistematik yang
dinyatakan dalam bentuk tertulis. Sementara itu Abrams (1981)
menyatakan bahwa kritik
sastra merupakan suatu studi yang berkenaan dengan
pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya
sastra. Secara lebih
sederhana lagi Jassin (1962) menyatakan bahwa
kritik sastra adalah
pertimbangan baik buruknya
suatu karya sastra.
Begitu juga pendapat Wellek, Jassin, dan Hudson yang
disebutkan oleh Pradopo (2002), bahwa kritik sastra adalah penghakiman yang
dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah
karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan
cacat-cacatnya, juga menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut. Jadi kritik
sastra mencoba mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas dengan
melihat kualitas berupa kelebihan dan kekurangan dari sebuah kacamata fokus
tertentu.
Aspek-aspek
pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi
atau penilaian. Penilaian ini
menunjukkan nilai seni
karya sastra yang sedang. Penilaian ialah usaha menentukan kadar keindahan
(keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Dengan mengetahui
penilaian karya sastra, orang dapat memilah-milahkan mana karya sastra
yang bemilai dan mana yang tidak, mana
karya yang bermutu tinggi dan mana yang
rendah atau sedang-sedang saja.
Penghargaan terhadap
karya sastra pun dapat dilakukan
secara wajar dan sepantasnya. Untuk menentukan indah tidaknya suatu karya
diperlukan ukuran atau
kriteria tertentu. Adanya kriteria itu akan memudahkan kita
melakukan penilaian. Dari sebuah ilmu kritik sastra muncul perbedaan-perbedaan
dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana menilai sebuah sastra. Hingga
munculah aliran-aliran yang membedakan dari segi manakah sastra itu dinilai dan
dilihat kekuranga dan kelebihan sebuah karya sastra. Menurut Wellek &
Warren (2016) dalam kritik sastra terdapat tiga aliran penilaian, yaitu
relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.
1. Penilaian
Karya Sastra Relativisme
Relativisme berasal dari
kata Latin, relativus, yang berarti “nisbi”
atau “relatif”. Berdasarkan KBBI (2016), kata relativisme bermakna “pandangan
bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun
oleh cara mengetahui yang serba terbatas”. Relatvisme adalah paham penilaian
yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra, penilaian karya
sastra tidak sama di semua tempat dan waktu.
Asumsi dasar penilaian relativisme
adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu
tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai
pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian realitivisme
memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011),
paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya,
atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat
kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut
metode literer. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada
karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat
di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap
bernilai di jaman dan tempat yang lain dulu dianggap baik, sekarang harus
dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra
yang menganut paham absolutisme.
Contoh penilaian
relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki
nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk
konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan.
Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak
bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang
atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai
literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa
Hikayat Si Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan
akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan dimana pun (tempat/lokus).
Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman
tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang
berbeda.
2. Penilaian
Karya Sastra Absolutisme
Paham penilaian absolut
menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer,
seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran
yang sifatnya dogmatis. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak
didasarkan pada hakikat sastra. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis
baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra
dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial
mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu
untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu.
Sebagai contoh, pada
zaman renaissance para kritikus judisial menggunakan standar penilaian
karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra
tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Menurut
Pradopo (1988), cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang
sifatnya mutlak atau absolut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo
(2013), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau
aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai
hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene
wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak
berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau
cita-cita, antara lain kaum humanis baru. Sastra yang baik menurut paham ini
adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dan
sebagainya.
Di Indonesia, kritik
model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra
adalah seni bertendensi (seni untuk seni). Paham ini kemudian dikembangkan oleh
golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis
Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan
dengan usaha "mengganyang" puisi-puisi Chairil Anwar dan roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, Lekra bersemboyan
"politik adalah panglima", artinya segala bentuk kegiatan kebudayaan
harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.
3. Penilaian
Karya Sastra Perspektivisme
Penilaian perspektivisme
adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan
jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai
karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai
keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan
ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses
perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang
dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan
postmodernisme.
Penilaian perspektif
mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Ringkasnya,
perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan
oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, sosial, religius, politik serta
ideologi kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, paham penilaian inilah
yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya
berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Paham
ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra
(tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif lebih jauh, dapat dikatakan
bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam
penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini dianggap
sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare
oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh
tahun kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada
karangan-karangan Racine “dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus
Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh
kebanyakan kritikus. Di Indonesia, contohnya adalah puisi-puisi Chairil Anwar
pada pertama kali disiarkan banyak dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan
tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang sebagai puisi yang tinggi
nilainya.