Friday, June 19, 2020

Kritik Sastra: Paham Penilaian Karya Sastra Relativisme, Absolutisme, dan Perspektivisme

Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Menurut Wellek (1971), hakikatnya karya sastra adalah karya  imajinatif  yang bermediakan  bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan.  Berbicara tentang sastra tidak dapat dilepaskan dari bidang-bidang studi sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (2016), studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling berkaitan. Salah satu bidang sastra itu adalah ilmu tentang kritik sastra.
Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. Thrall dan Hibbard (1960) menyebutkan bahwa kritik merupakan keterangan,  kebenaran analisis atau judgmen suatu karya sastra, sedangkan Hardjana (1981) mengemukakan  bahwa  kritik sastra merupakan basil  usaha  pembaca   dalam  mencari dan menentukan  nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran  sistematik  yang  dinyatakan  dalam  bentuk tertulis. Sementara itu Abrams (1981) menyatakan   bahwa  kritik  sastra  merupakan suatu  studi yang berkenaan   dengan  pembatasan,  pengkelasan,   penganalisisan,    dan penilaian  karya  sastra.  Secara  lebih  sederhana   lagi Jassin  (1962) menyatakan  bahwa  kritik   sastra  adalah  pertimbangan   baik  buruknya  suatu  karya sastra.
Begitu juga pendapat Wellek, Jassin, dan Hudson yang disebutkan oleh Pradopo (2002), bahwa kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang yang ahli atau memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, juga menyatakan pendapatnya tentang hal tersebut. Jadi kritik sastra mencoba mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas dengan melihat kualitas berupa kelebihan dan kekurangan dari sebuah kacamata fokus tertentu.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian. Penilaian ini  menunjukkan  nilai  seni  karya  sastra  yang sedang. Penilaian  ialah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Dengan  mengetahui  penilaian karya sastra, orang dapat memilah-milahkan mana karya sastra yang bemilai dan mana yang tidak,  mana karya yang bermutu  tinggi dan mana yang rendah atau sedang-sedang saja.
Penghargaan  terhadap  karya  sastra pun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk menentukan indah tidaknya  suatu karya  diperlukan  ukuran atau kriteria  tertentu.  Adanya kriteria itu akan memudahkan kita melakukan penilaian. Dari sebuah ilmu kritik sastra muncul perbedaan-perbedaan dan pandangan yang berbeda tentang bagaimana menilai sebuah sastra. Hingga munculah aliran-aliran yang membedakan dari segi manakah sastra itu dinilai dan dilihat kekuranga dan kelebihan sebuah karya sastra. Menurut Wellek & Warren (2016) dalam kritik sastra terdapat tiga aliran penilaian, yaitu relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.

1. Penilaian Karya Sastra Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti “nisbi” atau “relatif”. Berdasarkan KBBI (2016), kata relativisme bermakna “pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas”. Relatvisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra, penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu.
Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian realitivisme memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011), paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode literer. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham absolutisme.
Contoh penilaian relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan dimana pun (tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.

2. Penilaian Karya Sastra Absolutisme
Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu.
Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judisial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Menurut Pradopo (1988), cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-cita, antara lain kaum humanis baru. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dan sebagainya.
Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni). Paham ini kemudian dikembangkan oleh golongan Lekra, suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia, suatu partai yang sudah dibubarkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Dengan paham penilaian ini sastra Indonesia pernah diributkan dengan usaha "mengganyang" puisi-puisi Chairil Anwar dan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Hamka, Lekra bersemboyan "politik adalah panglima", artinya segala bentuk kegiatan kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan politik, yaitu politik komunisme.

3. Penilaian Karya Sastra Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan postmodernisme.
Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, sosial, religius, politik serta ideologi kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, paham penilaian inilah yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus. Di Indonesia, contohnya adalah puisi-puisi Chairil Anwar pada pertama kali disiarkan banyak dikecam orang sebagai “puisi liar”, akan tetapi pada masa-masa berikutnya diyakini orang sebagai puisi yang tinggi nilainya.

Pendekatan Intertekstual, Intratekstual, serta Struktural dalam Kajian Sastra Bandingan

Sastra bandingan adalah studi perbandingan dua karya sastra atau lebih atau perbandingan karya sastra dengan bidang lain, misalnya filsafat, sejarah, ilmu-ilmu sosial, agama, dan bentukbentuk seni Iainnya. Mazhab Prancis menyebutkan bahwa ahli sastra bandingan berusaha meneliti karya sastra clan membandingkannya dengan karya lain dengan mempertimbangkan aspek linguistik, pertukaran tema, gagasan, feeling clan nasionalisme. Mazhab Prancis lebih menekankan pada perbandingan sastra dengan sastra nasional yang didasarkan pada aspek intrinsik.
Mazhab Amerika agak berbeda dengan mazhab Prancis. Mazhab Amerika memiliki cakupan yang lebih luas. Menurut Remark (1971) sastra bandingan merupakan studi karya sastra antarnegara, bangsa di satu pihak dan studi bandingan antarbidang di pihak lain. Mazhab itu mengkritik tolok ukur sastra nasional, seperti yang dikemukakan mazhab Prancis, terlalu sempit. Oleh karena itu, mazhab Amerika cenderung rnelihatnya sebagai tolok ukur yang bersifat kultural. Perbedaan budaya dan bahasa sudah cukup bagi mazhab itu untuk melaksanakan suatu perbandingan.
Selanjutnya, Clements (1978) melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakupi aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/tren, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lainnya, serta (5) sejarah kritik dan teori sastra. objek pendekatan sastra bandingan terdiri atas telaah (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang-bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran perkembangan teori dan kritik. Ada beragam pendekatan dalam kajian sastra bandingan. Pada makalah ini, pendekatan yang akan dibahas adalah pendekatan intertekstual dan intratekstual serta pendekatan struktural.

1. Pendekatan intertekstual dan intratekstual dalam kajian sastra bandingan
Riffatere (dalam Teeuw 1983), mengungkapkan bahwa secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi.
Dalam bukunya, Ratna (2004) menjelaskan bahwa kajian atau teori intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik diantara teks-teks yang dikaji. Kajian interteks disini berusaha untuk menemukan aspekaspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Ratna (2004) mengungkapkan bahwa tidak ada karya asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Pradopo (2002) menyebutkan bahwa dasar dari kajian intertekstual adalah prinsip persamaan teks yang satu dengan teks yang lain. Artinya, suatu karya tidak akan diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dari dunia lain. Teori interteks dalam kaitannya dengan teks formal dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukannya dalam peta pemahaman sehingga menghasilkan karya yang baru.
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut.
Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Penelusuran makna dilakukan di luar karya individual, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan terks yang lainya. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya)". Menurut Rifaterre (dalam Teeuw 1983), hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pelacakan hipogram ini membutuhkan memori pemahaman luas dari sebuah cipta sastra. Pemahaman yang sepotong-sepotong, tidak akan menguntungkan bagi orang yang melakukan bandingan. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan film. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual adalah sebuah teori yang berusaha untuk menemukan hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, karya sastra yang baru merupakan sebuah transformasi dari karya sastra yang telah lahir sebelumnya. Seorang pengarang ketika menulis karyanya pasti sudah terpengaruh oleh karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks yang sedang ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain. Namun pengarang tidak semata-mata hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan atau merombaknya menjadi sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang berbeda. Pada intinya, kajian intertekstual disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Penelitian yang menggunakan teori intertekstual adalah penelitian dalam skripsi yang berjudul “Hubungan Intertekstual Novel Salah Asuhan Karya Abdul Muis dengan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk Karya Hamka (2000)” oleh Kusmanganti. Penelitian tersebut membahas tentang struktur novel Salah Asuhan dan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan intertekstual antara novel Salah Asuhan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kedua novel tersebut mempunyai persamaan yang terletak pada tema yaitu diskriminasi manusia yang disebabkan oleh adat, karakterisasi tokoh yang dilukiskan secara dramatik. Persamaan lainya terletak pada alur, keduanya menggunakan alur maju, selain itu dalam kedua novel di atas sama-sama memakai sudut pandang orang ketiga dan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan banyak menggunakan bahasa ungkapan.
Contoh lain penelitian dengan pendekatan interteks adalah penelitian skripsi dengan judul“ Semangat Feminis dalam Novel Saman karya Ayu Utami dan Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu: Kajian Intertektual” oleh Annisa Rahayuni (2013). Novel Saman yang terbit terlebih dahulu yaitu pada tahun 1998, diduga sebagai bentuk pengaruh dari lahirnya novel Nayla yang diluncurkan pada tahun 2005. Oleh karena itu, peneliti mengkaji kedua novel tersebut secara lebih mendalam untuk mengetahui hubungan yang terdapat dalam kedua karya yang merupakan satu jenis.
Secara teoritik kita dapat melakukan berbagai macam bandingan, di antaranya bandingan intratekstual seperti studi filologi, yang menitikberatkan pada kritik teks untuk mencari keaslian, babon naskah, atau sumber tema, misalnya bandingan Narasoma Maling, Darmagandul, dan Wulang Reh; serta bandingan intertektual, antara dua kurun waktu sastra yang berbeda, sinkronik, dan atau diakronik. Bandingan intertekstual dapat dilakukan karya sastra antardaerah, negara, genre, atau pengarang yang diperkirakan ada keterkaitan. Bandingan intertekstual dan intratekstual sebenarnya ditentukan oleh objek dan subjek penelitian.
Junus (1988) mengatakan, arti suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana. Penelitian ini disebut bersifat intratekstual. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya. Suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain dalam teks itu. Jadi suatu teks dilihat sebagai suatu wacana atau disebut bersifat intratekstual.
Contohnya adalah penelitian “Transformasi Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara ke Dalam Film (Kajian Sastra Bandingan)” oleh Reslyana Malida (2014) menghasilkan hubungan intratekstual fakta cerita yang terdapat pada kedua objek penelitian. Penelitian tersebut menggunakan analisis intratekstual yaitu dengan cara menganalisis struktur yang terdapat dalam novel dan film dengan menggunakan aspek cerita seperti, unsur alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan konflik.
Interteks adalah studi yang berbicara tentang sumber pengaruh. Kehinde (2003) mengungkapkan bahwa setiap teks mengandung teks yang lain. Kunci pokok interteks adalah terjadinya relasi antar karya sastra. Istilah relasional yang konsisten dengan pendekatan yang berorientasi pada pembaca dan menghindari mengkhianati afiliasi sadar dengan orientasi penulis.  Interteks memiliki dua identitas terpisah: (a) sebagai teks independen berfungsi dalam dirinya sendiri, yang mungkin tidak diketahui, terlupakan atau bahkan hilang; (b) sebagai asimilasi atau versi diakomodasi tertanam dalam beberapa cara dalam teks terfokus. Keuntungan intertekstualitas beberapa dukungan teoritis jika kita menganggap prasangka pada dasarnya istilah relasional, menghubungkan ucapan-ucapan. Penamaan sebuah ucapan pengandaian adalah hanya suatu cara menunjuk salah satu pernyataan dengan cara yang menentukan fungsi relasional untuk yang lain.
2.  Pendekatan struktural dalam kajian sastra bandingan
Dalam sebuah penelitian, baik dalam karya sastra maupun tulisan ilmiah biasanya ditemukan masalah-masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian tersebut. Dalam karya sastra cerita rakyat, masalah-masalah yang timbul biasanya berdasarkan unsur-unsur yang ada didalamnya, yaitu unsur-unsur intrinsik (struktural) dan unsur-unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang menjadi pembangun karya sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang menurut Satoto (1993) merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra. Unsur intrinsik yang dimaksud tersebut menurut Nurgiyantoro (1991) adalah tema, plot atau alur, perwatakan atau penokahan, latar atau setting, sudut pandang pengarang, gaya, dan amanat.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Teeuw (1984) mengatakan pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural menurut Teeuw dalam Siswanto (2008) bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama sama menghasilkan makna menyeluruh. Dalam pandangan struktural yang sebenarnya, tidak mungkin ada pembedaan bentuk dan isi. Bentuk diberi makna dalam kaitannya dengan isi. Isi diberi pencerahan oleh gejala bentuk yang terpadu dengannya.
Analisis dengan menggunakan pendekatan struktural dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dari masingmasing unsur yang terdapat di dalam cerita yang dianalisis. Struktur karya sastra menurut Sumardjo (1997) terdiri atas unsur-unsur alur, penokohan, tema, latar, dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi).
Stanton dalam Nurgiyantoro (1995) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana. Atau singkatnya, tema adalah ide pokok atau utama dalam sebuah karya sastra. Tokoh menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), adalah orang (orang-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Namun pada karya sastra seperti dongeng atau fabel, tokoh tidak hanya diperankan oleh manusia. Aminuddin (2008) mengatakan bahwa tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dengan kata lain, setiap tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita memiliki karakternya masing masing.
Selanjutnya plot menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (1995), plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995), setting atau latar disebut juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Sudut pandang (point of view) menurut Booth dalam Nurgiyantoro (1995), merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
Kemudian, Aminuddin (2008) menerangkan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya lewat media bahasa yang indah dan harmonis meliputi aspek-aspek : (1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya bahasa. Sebab itulah ada pendapat yang menjelaskan bahwa gaya adalah orangnya atau pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan pengetahuan, pengalaman dan gagasan pengarangnya.
Terdapat pula unsur amanat yang menurut Nurgiyantoro (1995), merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Pengertian amanat menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (1995) adalah dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra. Akan tetapi, walaupun dikatakan unsur yang berada di luar karya sastra, unsur ekstrinsik tetap mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra. Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama.
Unsur ekstrinsik dari sebuah karya sastra adalah sama, biasanya mencakup aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian amanat dan tema. Selain hal-hal yang datang dari luar diri pengarang, ada hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang yang cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya sebuah karya sastra.
Langkah-langkah dalam melakukan kajian sastra bandingan dengan pendekatan struktural sebagai berikut:
  1. Membaca karya sastra yang akan dikaji
  2. Mencari data yang berhubungan dengan objek penelitian
  3. Menganalisis data berdasarkan pendekatan struktural dan mengungkapkan persamaan, perbedaan, atau hubungan unsur intrinsik seperti tema, penokohan, dan alur\
  4. Menginterpretasi hasil analisis
  5. Menyimpulkan

Sunday, June 14, 2020

How was your day?

Hi. 
Maaf ya, aku sering overthinking terhadap sesuatu yang harusnya memang tidak perlu. Terima kasih sudah selalu memaklumi tanpa menghakimi. Mari bersedih, tertawa, menangis, berjuang, dan bahagia sama-sama sampai tua. Mari tetap jaga jarak dekat dan saling menguat juga mengingat.
I don't know how to tell but I always enjoying every second of our life. 🤗💞

Penipu Popok & Susu di Instagram

Saya ga mau panjang lebar, penipu tsb mengatasnamakan ULI ELISA dengan nomor rekening Bank BRI No.Rek: 0171-0101-4789-530. Nomor yg dipakai ...