Sejak
usia dini, kerap kali guru menanyakan cita-cita muridnya. Kemudian murid
tersebut akan menjawab beberapa profesi umum seperti menjadi dokter, insinyur,
astronot, guru, dosen, dan lainnya. Profesi dapat digunakan untuk mengungkapkan
sebuah pekerjaan atau urusan tertentu yang menuntut persiapan yang relatif lama
di pendidikan tinggi (kepada pengembannya) dalam liberal arts atau science,
dan biasanya meliputi pekerjaan mental dan bukan pekerjaan manual, seperti
mengajar, keinsinyuran, mengarang, dan sebagainya. Setiap profesi memiliki kode
etik tertentu sebagai tata cara, pola aturan, dan pedoman etis yang harus
dipatuhi sebagai seorang yang profesional. Kode etik guru adalah norma, nilai
dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru sebagai pedoman sikap dan
perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat,
dan warga negara.
Salah
satu kode etik seorang pengajar (guru) adalah guru tidak menggunakan hubungan
dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang
melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama. Namun pada kenyataannya
banyak sekali ditemui kasus pencabulan murid yang dilakukan oleh gurunya
sendiri. Parahnya, kasus tersebut bahkan menimpa seorang murid yang masih duduk
di sekolah dasar. Pertama, hal ini melanggar kode etik karena melanggar norma
sosial, budaya, moral, dan agama. Kedua, guru tersebut juga merendahkan harga
diri murid dengan cara memanfaatkan profesinya untuk hal-hal yang tidak ada
kaitannya dengan pendidikan. Disebutkan dalam sebuah berita, bahwa murid yang
menjadi korban perilaku tidak beretika tersebut mengalami trauma. Pelaku
mungkin saja telah diberi hukuman, namun apakah efek jeranya akan sama seperti
efek trauma yang dialami oleh korban?
Yang
lebih mengerikan, di Indonesia, para pelaku masih mendapatkan perlindungan
seperti kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswa. Hal itu
sama sekali tidak sebanding dengan beban moral dan beban kejiwaan yang dialami
oleh korban. Kejadian seperti ini terus berulang karena beberapa faktor,
misalnya faktor internal. Pola pikir yang salah ini dikarenakan pendidikan seks
kurang diperhatikan di Indonesia. Selain itu, kurangnya kesadaran pelaku akan
hak-hak murid. Kemudian, tanggapan masyarakat Indonesia masih berputar-putar
pada pola “salahkan pakaian korban” padahal kenyataannya banyak korban
pelecehan seksual mengenakan pakaian yang sopan. Sekali lagi, hal ini membuat
korban semakin tertekan. Belum lagi pihak penegak hukum yang masih menggunakan
pertanyaan, “apakah ada dasar saling suka?”, yang menurut saya, sangat gila.
Bagaimana mungkin seorang murid sekolah dasar menyukai dirinya dicabuli oleh
seorang penjahat kelamin yang menyebut dirinya pahlawan tanpa tanda jasa?
Kasus-kasus
seperti ini harus segera diberantas agar pendidikan di sekolah menjadi proses
yang nyaman dan menyenangkan bagi peserta didik. Seharusnya tidak ada lagi
tempat mengajar untuk para pelaku, pelaku yang sudah tertangkap basah harus
menerima konsekuensinya untuk tidak mengajar lagi. Karena guru yang seharusnya
menjadi sosok yang digugu dan ditiru sudah tidak dapat mencerminkan perilaku
yang baik.
Tidak
seharusnya semangat anak-anak untuk mengenyam pendidikan patah karena kesalahan
pendidiknya sendiri. Pelatihan untuk guru dan dosen mengenai kode etik ini
rasanya perlu dikuatkan lagi agar hal-hal buruk seperti di atas tidak terulang
kembali. Satu korban sama dengan hilangnya seribu cahaya bagi sebuah kehidupan.
Pendidikan yang sesungguhnya bertujuan untuk membangun peradaban yang lebih
baik, memajukan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia sebuah bangsa. Bukan
sebaliknya.
No comments:
Post a Comment